BALEKAMBANG TEMPO DOELOE

Balekambang Tempo Doeloe


Selepas dari MTS tahun 1990 saya lebih memilih pendidikan ala pesantren dari pada MA Walisongo Pecangaan dan MA Darul Ulum Purwogondo sebagaimana yang ditawarkan bapak saya. Kemudian oleh beliau aku dimasukkan ke pesantren yang kakek saya dulu pernah mondok disana,yaitu pesantren Balekambang kec.Nalumsari Jepara (saat itu masih distrik kecamatan Mayong-),walaupun awalnya yang terlintas di pikiranku adalah pesantren Kudus   .

Pesantren tua peninggalan simbah KH.HasbuLlah yang konon berdiri th.1884 itu aku singgahi saat di asuh oleh generasi ketiga. Jumlah santri terbanyaknya masih sekitar 200an, belum mencapai ribuan seperti saat ini. Bangunan pun masih terbatas 2 komplek saja,asrama dan madrasah.  Fasilitasnya masih sangat minim untuk ukuran sekarang,belum banyak tersedia alat transportasi dari dan ke kota Mayong,belum ada listrik PLN dan MCK masih mengandalkan air sungai.

Ya,walau tidak lama nyantri di Balekambang (1990-2003), namun banyak situasi,kondisi dan peristiwa yang bisa jadi tarbiyah (pendidikan-),ta'lim (pengetahuan-) dan kenangan untuk saya.
Berikut ini diantaranya :

1. Jalan kaki dari atau ke Mayong
Saat itu kami sudah terbiasa jalan kaki Mayong-Balekambang atau sebaliknya. Ada 2 jalur selatan yang biasa kami pilih,lewat desa Pringtulis (sekitar 45 menit) dan lewat desa Singorojo (30 menit). Jangankan yang sehat,yang sedang sakitpun kalau mau pulang dan tidak ada ojek atau jemputan harus berjalan walau sebentar-sebentar istirahat.
Namun,sekarang ritual itu sudah hilang karena kemajuan sarana transportasi dan peraturan pondok yang mewajibkan sistem antar jemput oleh pihak keluarga santri.

2. Antri mandi di sungai
Ketika pagi dan sore hari akan ada pemandangan menarik tepatnya dibawah pohon mangga dekat sungai,yaitu antrian para santri untuk mandi.
Berbeda dengan antrean kamar mandi, mandi di sungai antriannya adalah 'telesan' celana kolor atau sobekan sarung untuk sekedar menutup sau'atain (qubul dan dubur).
Namun itu dulu, sekarang sudah banyak tersedia kamar mandi dengan air bersih dan sanitasi yang memadahi di pondok Balekambang.

3. Bulpiri
Konon istilah bulpiri dipopulerkan oleh hadratus syaikh simbah KH. AbduLlah Hadziq saat mengetahui ada salah satu santri yang dicari oleh beliau namun tidak ada di pondok,dan ternyata si santri tadi ikut pulang kerumah temannya karena ada hajatan mantu dirumahnya. Saat kembali ke pondok hadratus syaikh menegur santri tersebut dengan dawuhnya "oh... santri kok seneng bulpiri".

Bulpiri sendiri singkatan dari "kebul-kebul di ampiri",maksudnya mampir main kerumah teman karena ada asap dapur yang mengepul (masak besar untuk pesta-). Selanjutnya istilah itu di adopsi oleh santri Balekambang sebagai sebutan untuk silaturahim ke rumah teman.

4. Masak sendiri
Masak sendiri merupakan salah satu hal yang mendewasakan dalam dunia pesantren.
Dulu, ketika belum diganti kompor minyak tanah,kami masak memakai kayu bakar,mencari (kadang juga mencuri) dipekarangan warga kampung sekitar pondok. Ketika musim hujan tiba, bahan bakarnya bisa apa saja,tak jarang ada juga sandal jepit yang hilang. Ke mana hilangnya, ya, jelas ke tungku untuk memasak.
Namun, sekarang santri disini sudah tidak masak sendiri atas pertimbangan dan kebijakan dari pondok.

5. Makan se-nampan bersama
Inilah yang membuat apapun makanannya akan enak terasa. Santri yang memasak, ketika sudah siap saji, makanan ditiriskan di nampan. Kemudian dimakan secara bersama-sama oleh satu kelompok masak. Meski nasi dan sayur masih panas, para santri tak peduli untuk melahapnya. Soal tangan gosong atau lidah terbakar, itu soal nanti. Masalahnya, kalau tidak berani ambil resiko itu, dijamin tidak kenyang karena kalah dengan yang lain.

6. Terserang Gudig
Penyakit kulit gudig (kudis) memang akrab bagi santri. Konon, ini seakan menjadi "ujian" bagi santri, apakah nantinya ia akan betah tinggal di pesantren atau tidak. Saking parahnya, santri yang terkena penyakit ini kadang sampai tak bisa duduk atau sulit jalan.

7. Tidur di lantai tanpa bantal
Dulu tak ada ceritanya kami tidur di kasur. Tidurnya cukup merebahkan badan di lantai kamar, depan kamar atau lainnya. Untuk yang ingin bantal, pakaian kotor dikumpulkan lalu dibungkus dengan sarung. Hal itu sudah lebih dari cukup menghilangkan kantuk karena kesibukan pagi, siang sampai malam.

8. Setoran hafalan
Setoran disini bukanlah setoran yang lazim terjadi antara sopir angkot dengan juragannya, namun setoran hafalan nadzaman yang telah dibebankan. Biasanya, seminggu sekali para santri setoran hafalan tersebut kepada sang ustadz.
Ada yang setor Aqidatul 'Awwam,Jurumiyyah,'Umrithy dan Alfiyah. Jika tidak memenuhi target,santri akan dita'zir dan lebih ekstrem lagi tak bisa naik kelas.

9. Ta'zir (hukuman)
Sebagaimana pesantren lain,pesantren Balekambang juga memiliki peraturan. Jika ada dari kami yang melanggar, ia akan dihukum sesuai bobot pelanggarannya. Ada yang disuruh kungkum (berendam) di sungai,membersihkan kaoya,menguras kolam wudlu, dicukur gundul atau bahkan dipulangkan. Ketika terjadi ta'ziran ini, biasanya semua santri menonton dan menyoraki. Ini pelajaran sekaligus tes mental dan melatih tanggung jawab.

11. Berebut memutar sandal kiyai
Sudah maklum bahwa pesantren mengajarkan santrinya agar senantiasa berupaya untuk mendapatkan berkah dan ridla dari sang Kiyai dengan cara memuliakannya. Ada salah satu upaya unik untuk ngalap berkah dan ridla dari sang kiyai sebagai bentuk memuliakannya,yaitu memutar sandal kiyai. Artinya santri tersebut memutar sandal kiyai agar nanti ketika sang Kiyai akan memakainya lagi,beliau tidak perlu membalikkan badan.

12. Berebut I.N
Sudah menjadi tradisi, ketika ada santri baru atau atau sehabis pulang selalu membawa aneka jajanan yang dikenal dengan sebutan I.N (singkatan dari "inuk-inukan") dan akan menjadi rebutan santri lainnya,terlebih anggota satu kamar. Berebut I.N atau jajanan ini menjadi suatu hal yang menarik dan menyenangkan.
Begitu pula ketika santri datang diantar orang tua atau keluarga, seluruh anggota kamar akan bersikap dewasa dan melayani tamu dengan penuh penghormatan, seperti anjuran Kanjeng Nabi.
Namun sejurus kemudian, ketika para tamu orang tua atau wali santri itu pulang, akan segera terjadi kegaduhan: berebut jajanan.
Ini suatu tradisi yang lazim terjadi di pesantren-pesantren, meski latar belakang santri adalah seorang yang kaya atau mampu.

13. Tirakat
Dulu,sebagai calon makhluk spiritual, santri dan riyadloh (tirakat/olah batin) ibarat nasi dan lauknya. Karena itu kamipun bertirakat atau riyadlohan dengan mencari dan mengamalkan beberapa ijazah dari seorang guru.
Namun,karena pengasuh (Abah Ma'mun)saat itu sangat ketat dalam memberikan amalan atau ijazah,maka kami biasanya mencari dari Kiyai lain,dan kami biasa menyebut dengan istilah "kula'an".
Amalan-amalan kami seperti ; dala'il,ngrowot (tidak makan nasi), puasa mutih,manaqib,hizib,asma'. Bahkan, ada juga santri yang mengamalkan ilmu kanuragan sehingga tak mempan bacok atau kami menyebut dengan ilmu "pecok ting".

Sign up here with your email address to receive updates from this blog in your inbox.

0 Response to "BALEKAMBANG TEMPO DOELOE"

Posting Komentar