Jum'at Legi,31 Juli 2015
Sore tadi ada tamu seorang wanita kerumah saya -saya lupa namanya. Dengan berderai air mata ia bercerita tentang masalah dalam rumah tangga dan tentang suaminya. Dengan suara pelan dan kadang-kadang penuh emosi, ia bercerita tentang kepedihan dan hati remuknya pada saya. Sore itu aku relakan diriku menjadi tempat tumpahan keluh kesahnya,aku dengarkan satu persatu kisah rumah tangganya dan sesekali aku coba menenangkannya. Saya hanya mencoba bisa memahami hati wanita itu walau saya sendiri bukan wanita.
Wanita yang sudah lebih dari 10 tahun bersama suaminya itu, juga mencoba mengajak saya berdiskusi tentang keinginannya bercerai dengan suaminya dengan alasan karena ada "wanita" lain dan tabiat suaminya yang tidak perlu aku ceritakan lagi.
Saya coba menerangkan pada dia bahwa pada dasarnya talak (perceraian) itu suami yang memegang kendalinya,namun fiqih (syari'at) juga memberi ruang pada seorang istri untuk mengakhiri rumah tangganya dengan jalan menggugat cerai suami (khulu' atau istilah jawa Rapak-) dan Fasakh.
Perceraian adalah perkara halal (makruh-) yang paling dibenci oleh Allah. Perceraian dipilih ketika dibutuhkan saja, yaitu apabila mempertahankan pernikahan akan mengakibatkan mudharat yang lebih besar. Dan jika tidak sangat diperlukan maka perceraian menjadi makruh karena mengakibatkan bahaya yang tidak bisa ditutupi.
Bagi wanita, meminta cerai adalah perbuatan sangat buruk. Dan Islam melarangnya dengan menyertakan ancaman bagi pelakunya, jika tanpa adanya alasan yang dibenarkan.
Syariat Islam telah memberikan solusi bagi pasangan suami istri tatkala mereka tidak lagi merasakan ketenangan dan kebahagiaan dalam rumah tangganya. Baik dalam bentuk cerai yang berada di tangan suami atau gugat cerai (khulu’) sebagai jalan keluar bagi istri yang tidak memungkinkan lagi untuk tinggal bersama suaminya. Dan tentunya kedua solusi tadi harus dilakukan sesuai aturan yang telah ditetapkan syariat.
Memang ada beberapa hadits yang menjelaskan larangan seorang istri meminta cerai pada suaminya, seperti hadits yang diriwayatkan dari Tsauban radhiyaLlahu ‘anhu, Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أيُّما امرأةٍ سألت زوجَها طلاقاً فِي غَير مَا بَأْسٍ؛ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الجَنَّةِ
“Wanita mana saja yang meminta kepada suaminya untuk dicerai tanpa kondisi mendesak maka haram baginya bau surga” (HR Abu Dawud & At-Turmudzi).
dan hadits dari Abu Hurairah radhiyaLlahu ‘anhu,
الْمُنْتَزِعَاتُ وَالْمُخْتَلِعَاتُ هُنَّ الْمُنَافِقَاتُ
“Para wanita yang berusaha melepaskan dirinya dari suaminya, yang suka khulu’ (gugat cerai) dari suaminya, mereka itulah para wanita munafiq.” (HR. Nasa’i )
Namun hadits-hadits di atas tidaklah memaksa wanita untuk tetap bertahan dengan suaminya sekalipun dalam kondisi tertindas. Karena yang dilarang oleh RasuluLlah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam adalah melakukan gugat cerai tanpa alasan yang dibenarkan. Artinya, jika hal itu dilakukan karena alasan yang dibenarkan, maka syariat tidak melarangnya.
Kemudian apa saja yang membolehkan para istri untuk melakukan gugat cerai?
Imam Ibnu Qudamah telah menyebutkan kaidah dalam hal ini. Beliau mengatakan,
وجملة الأمر أن المرأة إذا كرهت زوجها لخلقه أو خلقه أو دينه أو كبره أو ضعفه أو نحو ذلك وخشيت أن لا تؤدي حق الله في طاعته جاز لها أن تخالعه بعوض تفتدي به نفسها منه
“Kesimpulan masalah ini, bahwa seorang wanita, jika membenci suaminya karena akhlaknya atau karena fisiknya atau karena agamanya, atau karena usianya yang sudah tua, atau karena dia lemah, atau alasan yang semisalnya, sementara dia khawatir tidak bisa menunaikan hak Allah dalam mentaati sang suami, maka boleh baginya untuk meminta khulu’ (gugat cerai) kepada suaminya dengan memberikan biaya/ganti untuk melepaskan dirinya.” (al-Mughni, 7:323).
Berikut beberapa kasus yang membolehkan sang istri melakukan gugat cerai (khulu' / Rapak) ;
1.Jika sang suami sangat nampak membenci sang istri, akan tetapi sang suami sengaja tidak ingin menceraikan sang istri agar sang istri menjadi seperti wanita yang tergantung.
2.Akhlak suami yang buruk terhadap sang istri, seperti suka menghinanya atau suka memukulnya.
3.Agama sang suami yang buruk, seperti sang suami yang terlalu sering melakukan dosa-dosa, seperti minum khomr, berjudi, berzina, atau sering meninggalkan sholat, dll.
4.Jika sang suami tidak menunaikan hak utama sang istri, seperti tidak memberikan nafkah kepadanya, atau tidak membelikan pakaian untuknya, dan kebutuhan-kebutuhan primer yang lainnya, padahal sang suami mampu.
5.Jika sang suami ternyata tidak bisa menggauli istrinya dengan baik, misalnya jika sang suami cacat, atau tidak bisa melakukan hubungan biologis, atau tidak adil dalam mabit (jatah menginap), atau tidak mau atau jarang memenuhi kebutuhan biologisnya karena condong kepada istri yang lain.
6.Jika sang wanita sama sekali tidak membenci sang suami, hanya saja sang wanita khawatir tidak bisa menjalankan kewajibannya sebagai istri sehingga tidak bisa menunaikan hak-hak suaminya dengan baik. Maka boleh baginya meminta agar suaminya meridoinya untuk khulu’, karena ia khawatir terjerumus dalam dosa karena tidak bisa menunaikan hak-hak suami.
7.Jika sang istri membenci suaminya bukan karena akhlak yang buruk, dan juga bukan karena agama suami yang buruk. Akan tetapi sang istri tidak bisa mencintai sang suami karena kekurangan pada jasadnya, seperti cacat, atau buruknya suami.
Dengan adanya salah satu sebab diatas,maka istri diperbolehkan melakukan gugatan cerai (khulu' atau istilah jawanya Rapak-) jika istri menginginkannya.
Khulu’ adalah kesepakatan penceraian antara suami istri atas permintaan istri dengan imbalan sejumlah uang (harta) yang diserahkan kepada suami. Khulu’ disebut dalam QS Al-Baqarah :229.
Adapun dalil haditsnya adalah sebuah hadits shahih
[Hadits riwayat Bukhari ] yang mengisahkan tentang istri Tsabit bin Qais bin Syammas bernama Jamilah binti Ubay bin Salil yang datang pada Rasulullah dan meminta cerai karena tidak mencintai suaminya. Rasulullah lalu menceraikan dia dengan suaminya setelah sang istri mengembalikan mahar.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ جَاءَتِ امْرَأَةُ ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ مَا أَنْقِمُ عَلَى ثَابِتٍ فِي دِينٍ وَلَا خُلُقٍ إِلَّا أَنِّي أَخَافُ الْكُفْرَ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ فَقَالَتْ نَعَمْ فَرَدَّتْ عَلَيْهِ وَأَمَرَهُ فَفَارَقَهَا
Syaikh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Fathul Bari mendefinisikan khulu' dengan :
الخلع هو أن تفتدي المرأة نفسها بمال تدفعه لزوجها، أو هو فراق الزوجة على مال
(Khulu' adalah istri yang menebus dirinya sendiri dengan harta yang diberikan pada suami atau pisahnya istri dengan membayar sejumlah harta). [Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, IX/490 ].
Adapun hukum asal dari gugat cerai adalah boleh sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam Nawawi :
وأصل الخلع مجمع على جوازه ، وسواء في جوازه خالع على الصداق أو بعضه ، أو مال آخر أقل من الصداق ، أو أكثر ، ويصح في حالتي الشقاق والوفاق ،
(Hukum asal dari khulu’ adalah boleh menurut ijmak ulama. Baik tebusannya berupa seluruh mahar atau sebagian mahar atau harta lain yang lebih sedikit atau lebih banyak. Khulu’ sah dalam keadaan konflik atau damai.) [ Abu Syaraf An-Nawawi dalam Raudah at-Talibin 7/374 ].
Syaikh Al-Jaziri membagi hukum khulu' menjadi boleh, wajib, haram, dan makruh:
الخلع نوع من الطلاق لأن الطلاق تارة يكون بدون عوض وتارة يكون بعوض والثاني هو الخلع وقد عرفت أن الطلاق يوصف بالجواز عند الحاجة التي تقضي الفرقة بين الزوجين وقد يوصف بالوجوب عند عجز الرجل عن الإنفاق والاتيان وقد يوصف بالتحريم إذا ترتب عليه ظلم المرأة والأولاد وقد يوصف بغير ذلك من الأحكام المتقدم ذكرها هناك على أن الأصل فيه المنع وهو الكراهة عند بعضهم والحرمة عند بعضهم ما لم تفض الضرورة إلى الفراق
(Khulu' itu satu jenis dari talak. Karena, talak itu terkadang tanpa tebusan dan terkadang dengan tebusan. Yang kedua disebut khulu'. Seperti diketahui bahwa talak itu boleh apabila diperlukan. Terkadang wajib apabila suami tidak mampu memberi nafkah. Bisa juga haram apabila menimbulkan kezaliman pada istri dan anak. Hukum asal adalah makruh menurut sebagian ulama dan haram menurut sebagian yang lain selagi tidak ada kedaruratan untuk melakukannya). [Al-Jaziri dalam Al-Fiqh ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, IV/186].
Sedangkan Syaikh As-Syairazi dalam Al-Muhadzdzab menyatakan bahwa khulu' itu boleh secara mutlak walaupun tanpa sebab asalkan kedua suami istri sama-sama rela. Apalagi kalau karena ada sebab, baik sebab yang manusiawi seperti istri sudah tidak lagi mencintai suami; atau sebab yang syar’i seperti suami tidak shalat atau tidak memberi nafkah.
إذا كرهت المرأة زوجها لقبح منظر أو سوء عشرة وخافت أن لا تؤدي حقه جاز أن تخالعه على عوض لقوله عز و جل { فإن خفتم أن لا يقيما حدود الله فلا جناح عليهما فيما افتدت به } [ البقرة : 229 ] وروي أن جميلة بنت سهل كانت تحث ثابت بن قيس بن الشماس وكان يضربها فأتت إلى النبي ( ص ) وقالت : لا أنا ولا ثابت وما أعطاني فقال رسول الله ( ص ) [ خذ منها فأخذ منها فقعدت في بيتها ] وإن لم تكره منه شيئا وتراضيا على الخلع من غير سبب جاز لقوله عز و جل { فإن طبن لكم عن شيء منه نفسا فكلوه هنيئا مريئا } [ النساء : 4 ]
(Apabila istri tidak menyukai suaminya karena buruk fisik atau perilakunya dan dia kuatir tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, maka boleh mengajukan gugat cerai dengan tebusan karena adanya firman Allah dalam QS Al Baqaran 2:229 dan hadits Nabi dalam kisah Jamilah binti Sahl, istri Tsabit bin Qais. … Apabila istri tidak membenci suami akan tetapi keduanya sepakat untuk khulu' tanpa sebab maka itupun dibolehkan karena adanya firman Allah dalam QS An Nisa 4:4). [As-Syairozi, Al-Muhadzab, II/289].
Khulu' / Rapak, sebagaimana halnya talak, dapat dilakukan secara langsung antara suami istri tanpa melibatkan hakim dan pengadilan agama. Seperti dikatakan Imam Nawawi dalam Al-Majmuk Syarh al-Muhadzab:
ويجوز الخلع من غير حاكم لأنه قطع عقد بالتراضي جعل لدفع الضرر، فلم يفتقر إلى الحاكم كالإقالة في البيع.
(Khulu' dapat dilakukan tanpa hakim karena khulu' merupakan pemutusan akad dengan saling sukarela yang bertujuan untuk menolak dlarar (bahaya-). Oleh karena itu ia tidak membutuhkan adanya hakim sebaagaimana iqalah dalam transaksi jual beli). [Imam Nawawi, Al-Majmuk Syarh al-Muhadzab, XVII/13].
Walaupun khulu' dapat dilakukan di luar pengadilan, namun secara formal itu belum diakui negara. Untuk mengesahkannya secara legal formal menurut undang-undang Indonesia, maka pihak yang berperkara tetap harus mengajukannya ke Pengadilan Agama di wilayah tempat tinggalnya.
Karena suatu gugatan perceraian akan diakui negara dan akan memiliki kekuatan legal formal apabila dilakukan di Pengadilan Agama dan diputuskan oleh seorang Hakim.
Tamu wanitaku juga menceritakan kalau suaminya bilang tidak akan pernah mau menceraikannya dengan alasan masih mencintainya (♡?).
Gugat cerai pada dasarnya harus dilakukan atas sepengetahuan dan kerelaan suami. Karena pihak yang memberi kata cerai dalam khuluk adalah suami. Jadi, kalau suami tidak rela atau tidak mau meluluskan gugatan perceraian istri, maka khuluk tidak bisa terjadi.
Namun demikian, dalam situasi tertentu Hakim di Pengadilan Agama dapat meluluskan gugat cerai tanpa persetujuan atau bahkan tanpa kehadiran suami apabila berdasarkan pertimbangan tertentu Hakim menganggap bahwa perceraian itu lebih baik bagi pihak penggugat yaitu istri. Misalnya, karena terjadinya konflik yang tidak bisa didamaikan, atau suami tidak bertenggung jawab, terjadi KDRT yang membahayakan istri dan lain sebagainya. [Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah, II/290].
Dalam konteks ini, maka hakim dapat menceraikan keduanya bukan dalam akad khulu', tapi talak biasa. Dalam Al-Mausuah Al-Fiqhiyah dinyatakan:
وبضرر زوج لزوجته – نحو: لم نزل نسمع عن الثقات وغيرهم أنه يضارها فيطلقها عليه الحاكم
(Disebabkan perilaku suami yang membahayakan istri, misalnya ada berita dari sejumlah sumber terpercaya bahwa suami melakukan kekerasan pada istri, maka hakim dapat menceraikan keduanya.). [Al-Mausuah Al-Fiqhiyah, XII/285].
Apabila suami tidak memiliki kesalahan signifikan pada istri, hanya istri kurang menyukai suami dan kuatir tidak dapat memenuhi hak-hak suami dan kewajibannya sebagai istri, maka istri dapat mengajukan khulu' dan sunnah bagi suami untuk meluluskannya. Apabila suami tidak rela dan tidak mau, maka ada dua pendapat ulama ;
Pendapat pertama, hakim tidak boleh memaksa suami. Konsekuensinya, hakim tidak dapat menceraikan mereka. Ini pandangan mayoritas ulama, termasuk madzhab Syafi’i.
Pendapat kedua, hakim boleh memaksakan kehendak istri untuk bercerai walaupun suami tidak rela. Pandangan ini terutama berasal dari madzhab Hanbali.
Sebelum wanita itu pamit karena akan maghrib, saya menyarankan supaya ia tetap bertahan dengan kesabarannya,itupun kalau ia mau. Bagaimanapun juga suatu saat cobaan ini akan tetap berakhir. Allah tidak akan meguji hambaNya diluar batas kemampuannya.
Saya juga berpesan padanya,apa dan bagaimanapun sikap suamimu terhadap kamu tetaplah hormat,tunduk dan patuh kepadanya. Karena bagaimanapun juga ia masih menjadi suamimu.
WaLlahu a’lam bis-Shawab dan semoga bermanfa’at, Aamiin.
0 Response to "GUGATAN CERAI TAMU WANITAKU"
Posting Komentar